Penulis : Asghar Saleh
Banyak yang menyebut final Qatar 2022 nanti malam adalah partai ideal. Tak salah karena dua kekuatan sepakbola dengan kutub yang sejak lama saling berseteru, Eropa dan Amerika Latin akan berebut gelar. Perancis adalah juara bertahan. Selain itu, tak ada tim yang bisa menandingi capaian Les Bleus dalam 25 tahun terakhir. Perancis ada di empat partai final dari enam edisi Piala Dunia sejak tahun 1998.
Ketika Piala Dunia digelar di negaranya, Didier Deschamps dkk jadi juara untuk pertama kalinya. Dua gol dari Zinadine Zidane dan satu gol Emanuel Petit membungkam perlawanan Brazil di partai final. Deschamps adalah kapten tim. Delapan tahun setelah itu, Zidane dkk sukses menembus final namun kalah dari Italia. Piala Dunia 2002 dan 2010, Perancis tak bersinar. Begitu pula di Brazil 2014, mereka takluk dari Jerman di babak kick off.
Sinar Perancis kembali gemerlap empat tahun lalu di Russia. Mereka jadi juara untuk kedua kalinya. Deschamps tak lagi bermain tapi dialah arsitek di balik sukses tim Ayam Jantan. Capaian ini mensejajarkan dirinya dengan Der Kaizer Franz Beckenbauer yang sukses sebagai pemain dan pelatih juara Piala Dunia.
Tak aneh jika kali ini, banyak yang menjagokan Perancis juara back to back – menyamai prestasi Brazil 1958 dan 1962 – karena selama ada Deschamps di partai final, Perancis tak pernah kalah. Di tim saat ini, tersisa kapten tim Hugo Lloris, Mbappe, Dembele, Varane, Giroud dan Griezmann yang empat tahun lalu juara di Russia. Selebihnya adalah muka batu.
Sedangkan di kubu rival, terutama sejak Lionel Messi bergabung pertama kali di Piala Dunia 2006, mereka baru dua kali masuk final. Di perebutan juara delapan tahun lalu, Tango kalah dari Jerman. Tahun ini adalah kesempatan kedua dan sangat mungkin yang terakhir bagi Messi. Di usia yang tak lagi muda, dengan begitu banyak gelar juara di level klub serta prestasi individu yang tak bisa dilawan, Qatar 2022 adalah pertaruhan Messi untuk menyamai Maradona.
Argentina punya dua pemain senior yang lama bermain bersama Messi, Angel Di Maria dan Nicolas Ottamendi. Selain keduanya, mereka punya banyak anak muda dengan permainan yang menjanjikan. Salah satunya adalah Julian Alvarez. Juga Alexis Mac Allistar dan pelatih belia bernama depan sama yang jadi kepercayaan Messi – Lionel Scaloni.
So, sekali lagi ini pertemuan yang ideal tetapi bagi saya bukan karena kekuatan dan sejarah panjang katanya. Ideal menurut saya lebih pada asa melihat partai ini akan berlangsung menarik dengan jual beli serangan disertai atraksi pemain bintang yang memukau. Argentina dan Perancis adalah dua tim yang produktif menjegal gawang lawan. Saya membayangkan laga di Luzail Iconic Stadium akan mirip dengan babak 16 besar empat tahun lalu. Kala itu, di Kazan Arena, kedua tim bermain terbuka dan saling menekan dalam tempo tinggi. Tujuh gol tercipta. Menit ke 13, tendangan penalti Griezmann membuat Perancis unggul cepat. Argentina menyamakan kedudukan di penghujung babak pertama lewat Angel Di Maria.
Tiga menit babak kedua bermula, Gabriel Mercado membawa Argentina berbalik unggul. Tapi kondisi itu tak lama. Menit ke 57, tendangan spektakuler Benjamin Pavard membuat kedudukan imbang 2 – 2. Setelah itu, anak muda berusia 19 tahun, Kylian Mbappe mengamuk. Dua gol dibuatnya dalam interval waktu empat menit – menit ke 64 dan 68. Argentina tertekan dan Perancis mulai bermain aman. Gol telat Sergio Aquero di menit 93 hanya memperkecil skor. Argentina tersingkir. Perancis terus melaju hingga jadi juara.
Jika melihat skema yang digunakan kedua pelatih sejak fase grup hingga semifinal, boleh dikata ada anomali yang memisahkan gaya bermain keduanya. Scaloni seperti bunglon. Taktik Argentina tergantung lawan yang dihadapi. Messi dkk pernah bermain dengan skema 4-3-3, 4-4-2 atau bahkan 3-5-2. Sedangkan Deschamps agak konservatif. Skemanya sangat baku dan tak berubah. 4-2-3-1. Perancis nyaman bermain karena punya meteri berlimpah yang paham dengan keinginan pelatih.
Empat bek sejajar akan jadi milik Theo Hernandez, Jules Kounde, Rafa Varane dan Ibrahima Konate. Mereka jadi tembok untuk melindungi Lloris. Di depan, dua double pivot akan dihuni Aurelien Tchouameni dan Wesley Fafana atau Andrian Rabbiot. Mereka akan jadi perusak alur serangan lawan. Yang istimewa adalah, Tchouameni atau Rabbiot punya kemampuan menyerang sama baiknya. Keduanya sudah bikin gol meski bermain cenderung bertahan.
Menurut saya titik penting kekuatan Perancis ada pada sosok yang bermain di depan dua double pivot ini. Dia adalah Antonie Griezmann. Ada perubahan mencolok yang mencengangkan. Empat tahun lalu, Griezmann adalah mesin gol utama Perancis. Kecepatannya di depan menghasilkan empat gol dan dua assist. Tapi di Qatar, Ia seperti bintang baru di posisinya. Bermain di belakang penyerang utama. Ia diberi kebebasan untuk menjelajah kemana saja. Dengan itu, Griezmann jadi tembok pertama yang kokoh saat Perancis tertekan. Saat serangan lawan terputus, dengan kecepatan, akurasi umpan jauh, sentuhan satu dua dan reading the game yang sempurna, bola di kakinya sudah sangat berbahaya.
Jika ingin memutus build up serangan Perancis, pergerakan Griezman kudu dimatikan sebelum Ia membagi bola ke Dembele, Mbappe atau Giroud. Khusus Giroud, pemain veteran ini benar-benar bermain dengan nyaman. Tak hanya jadi pemantu dan goal getter, Giroud juga tak segan turun jauh ke bawah untuk lakukan “man to man marking” terhadap otak serangan lawan. Lihat bagaimana Giroud turun menekan Sofyan Amrabat saat gelandang serba bisa Maroko ini bergerak dengan bola atau tanpa bola dalam partai semifinal.
Fokus lini depan Perancis juga tak bisa dipisahkan dari Mbappe. Di ulasan sebelumnya sudah saya jelaskan kapasitas dan ancaman anak muda ini. Kecepatannya di atas rata-rata. Ia sudah bikin lima gol. Ambisinya sangat tinggi untuk merebut tahta nomor 10 dari Messi. Jika ingin mematikan Mbappe, isolasikan dirinya agar tak mendapat supply bola dari Griezmann. Inggris dengan Kyle Walker sukses melakukan hal ini.
Bagaimana dengan Argentina?. Sangat mungkin Scaloni akan memainkan shape 4-4-2. Empat bek sejajar yang berdiri di depan Emi Martinez akan jadi milik Molina – Ottamendi – Romero dan Acuna. Memang ada opsi memainkan tiga bek sentral dengan tambahan Leandro Martinez. Bek Manchester United ini punya kecepatan tetap dengan tiga bek, lini tengah Argentina yang kekurangan pemain akan kesulitan “berkelahi” dengan lini tengah Perancis.
Jadi Argentina akan memainkan empat pemain gelandang untuk merebut lini tengah. Titik krusial yang menurut saya akan sangat menentukan hasil laga nanti. Dua anak muda, Enzo Fernandez dan Alexis Mac Allistar akan menemani Rodrigo de Paul dan Leandro Paredes, dua senior untuk menjaga kestabilan transisi dari positif ke negatif dan sebaliknya. Kualitas keempatnya teruji. Tinggal berbagi tugas siapa yang secara khusus mengikuti pergerakan Griezmann. Fernandez dan Mac Allistar juga harus bekerja ekstra melapis dua bek Argentina jika mereka tertekan.
Untuk urusan bikin gol, Messi akan ditemani anak muda lainnya, Julian Alvarez. Ini pemain yang mengejutkan dan sejauh ini jadi opsi serangan Tango saat Messi dikawal ketat. Alvarez sudah bikin empat gol. Banyak pihak menyebut Messi tak lagi secepat sepuluh tahun lalu tapi lima gola yang dibuatnya adalah jaminan kualitas yang tak sepenuhnya luntur. Ibarat mobil di jalanan, Messi itu seperti Mercedez Benz, meski dalam posisi parkir, kilaunya tetap menarik perhatian dibanding mobil lain yang berseliweran. Skill bola dan kebintangan Messi yang menaikkan mentalitas tim membuat pelatih manapun akan berpikir untuk tak membiarkannya bebas.
Di partai final, tekanan dan emosi akan berada dalam level tinggi. Saat ritme permainan dan kualitas individu pemain seimbang maka konsentrasi bermain jadi kunci. Menurut saya, tim yang minim melakukan kesalahan sangat berpeluang untuk menang. Ini tentang hal- hal detail yang kadang kecil tapi bisa jadi sangat merusak. Lihat gol cepat Perancis yang berawal dari kesalahan passing Maroko ditambah kegagalan memotong akurasi umpan mengubah jalannya pertandingan. Kepercayaan diri Maroko runtuh dan mereka tersingkir.
Hal menarik lainnya yang layak jadi sorotan di Qatar 2022, adalah kegemilangan para kiper. Empat semifinalis memiliki kiper luar biasa dengan statistik “save” yang menentukan hasil akhir. Malam ini, Hugo Lloris dan Emi Martinez sekali lagi dituntut untuk memberikan sentuhan ajaib kala mengagalkan peluang lawan untuk bikin gol. Kedua kiper ini bersama kiper Maroko dan Kroasia bagi saya adalah empat pemain terbaik di posisi penjaga gawang. Biasanya di tiap Piala Dunia hanya ada satu atau dua penjaga gawang yang menghipnotis netra penonton.
Kita belum tahu update terakhir terkait serangan virus aneh di Qatar yang membuat Perancis sempat lumpuh. Jika Varane dkk belum sepenuhnya pulih maka peluang akan lebih besar di kubu Argentina. Jika situasi terkendali dan keduanya turun full team maka agak sulit memprediksi siapa yang akan jadi juara. Kita boleh abaikan statistik karena yang menentukan adalah para pemain dalam memahami taktik dan kemampuan pelatih untuk membaca kebutuhan dalam permainan.
Saya tak punya jagoan di final malam ini. Kalo boleh memilih, Messi layak jadi juara untuk melengkapi dominasi personalnya di dunia sepakbola. M10 ini tak terbantahkan. Dia bahkan bisa langsung jadi Presiden jika sukses meraih Piala Dunia. Namanya akan abadi. Tetapi pikiran itu juga rasanya tak adil bagi M10 yang lebih muda. Mbappe jika juara kali ini bisa jadi akan mengalahkan nama besar Messi, Ronaldo, Zidane, Maradona, Beckenbauer dan bahkan Pele. Karena itu, biarkan sepakbola yang menemui siapa sang pemenang.
Saya sungguh berharap laga final ini akan berlangsung atraktif dengan permainan terbuka. Moga banyak gol tercipta. Dan jika ditanya siapa yang menang? Sepakbola lah yang akan menang malam ini dan setelahnya karena dengan itu kita bergembira tanpa sekat yang membedakan. Sepakbola adalah keriangan semesta yang dipeluk secara universal.
Asghar Saleh