spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img

Festival Kawata Kenang Faahu Yotan 121 Tahun

ASPIRASI NEWS

ASPIRASI TERNATE

“Fahahu Yotan adalah sebagian masyarakat dari suku Faahu yang bertemapat di Desa Wailau yang berpindah ke Pulau Mangole, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Kata Faahu Yotan diperkenalkan dalam Festival Hari Lahir Desa Kawata ke 120 Tahun pada 15 Agustus 2021”

Pergelaran Vestifal Kawata, Faahu Yotan 121 Tahun

Aspirasimalut.com – Desa Kawata, terlatak di pesisir pulau Mangoli masuk pada wilayah administrasi kecamatan Mangoli Utara Timur, kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Desa ini memiliki keunikan tersendiri, bisa dibilang awal mula berdirinya kampung di pesisir Mangoli Utara sejak 121 tahun silam. Menapaki jejak leluhur, tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa menggagas Vestifal Faahu Yotan.

Rasa penasaran mengulas Faahu Yotan yang disinyalir hinga ke Sulawesi, tim aspirasimalut.com mengajak Anto mahasiswa asal desa Kawata, untuk menemui Djunaidi Ishak, sesepuh desa Kawata (penggagas vestifal), yang saat ini sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU).

Festival Desa Kawata (Faahu Yotan II)

Kedatangan kami pun disambut ramah oleh ayah (sapaan Djunaidi Ishak). Ia pun menjamu kami dengan kopi sambil bercerita Faahu Yotan dan sejarah kampung yang penuh dengan makna Basanohi, Manatol, Manawak, do Manayana.

Ayah bercerita, generasi pada saat ini harus tahu kata dan makna dari Faahu Yotan dalam Sejarah Kampung. Kata ini muncul semenjak suku Faahu dari Wailau berpindah ke Pulau Mangole dan berdialog dengan Sangaji Waitina dan Sangaji Mangoli untuk memberikan batas wilayah kepada suku fahahu.

“Faahu Yotan itu artinya sebagian masyarakat dari suku Faahu di Desa Wailau pindah ke Pulau Mangoli. Faahu Yotan ini cakupannya Kawata, Waitamela, Wasakai, dan Palitajaya. Ada juga Faahu Yotan yang lain seperti di Desa Brukol sampai unjung pulau Mangoli,”jelasnya.

Dialog antara leluhur Waitina dan Mangoli bersama rombongan dari Wailau yang dipimpin oleh Tete Nailu bertempat di Pohi Potapon sekarang Masjid Tua Desa Ko. Dalam dialog itu, diberikan batas tanah Kampung Kawata dari Kau Tea Tui (Wai Pamalit Ko) sampai Wai Fat atau Air Batu.

Setelah penetapan batas kampung, rombongan dari Wailau berangkat ke Mangoli dan Waitina. Sesampainya rombongan Wailau ke dua desa tersebut, para tetua dua kampung menanyakan kepada rombongan “Giwata bu Sahoa ?”. Dari pertanyaan itu, rombongan menjawab, “Kawata bu Wai Eya, bu Wai Nana in Tena-tena”. Dari interaksi antar rombonga Wailau dan tetua dari dua desa itu hingga melahirkan nama Kawata.           

Berjalannya waktu, sebagian suku Faahu dari Wailau membuat lahan perkebunan, tempat pemukiman, dan pusat pertahanan keamanan di Kawata, karena berada di unjung pulau mangole bersama kampung tetangga seperti Waitamela, Wasakai, dan Palitajaya.

“Ketika pemukiman dibuat, Kawata masa itu membuat satu pemerintahan baru dengan nama Mahimo pada 1901-1919 dengan moto; Basanohi, Manatol, Manawak, do Manayana atau demi basudara, bakubawa, baku sayang, baku lihat. Dari moto inilah yang mengantarkan sebagian orang dari Wailau ke Kawata, hingga didirikan Mahimo sampai menjadi Dusun pada 1919-1930, dan Desa 1931,”ungkapnya.

ibu-ibu Desa Kawata Turut Serta Terlibat Dalam Vestifal Faahu Yotan II

Kampung Wailau sebelumnya berkumpulnya Marga Umasugi dan Lantina berkumpulnya marga Sapsuha, Umaternate, Fatarubah, Soamole, Umamit, Umanahu, Usia dan beberapa marga lainnya. Bahkan, ada penduduk Galela, Makeang, serta Gamkonora dari Halmahera Barat yang sudah menikah dan menetap di Wailau. Dari marga ini yang memperkuat antar kemuniasiaan, antar suku, dan Agama karena dahulu masuk zaman perang.  

Festival yang baru dimulai pada Tahun 2020 dan 2021 merupakan proses atau tahapan untuk memperkenalkan sejarah Kawata dan nilai-nilai toleransi, dan satu wadah berkumpulnya para pemuda, orang tua untuk merayakan hari lahir desa kawata ke 121 tahun.

“Dalam festival, para pemuda dan orang tua menggunakan pakaian masa lalu, serta ditampilkan kegiatan – kegiatan serimoni seperti ronggeng dan gambus has orang Sula,”

Dalam kegiatan ini, warga kawata juga mengundang desa tetangga untuk sama-sama merayakan hari lahir desa dan mengingat sejarah yang harus diceritakan agar generasi bisa mengetahui bagimana Fahahu Wailau berpindah ke Pulau Mangole. 

“Bukan saja warga Desa Kawata tetapi orang Sula pada umumnya, karena Sula bisa maju harus melihat kembali sejarah Sula dan nilai – nilai positifnya terutama makna Basanohi, Manatol, Manawak, do Manayana,”imbuhnya mengakhiri.

spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img

ADVERTORIAL

ASPIRASI SOFIFI

ASPIRASI SOFIFI

NASIONAL

DUNIA