Risno Ong Rasai
Dosen Falkutas Ilmu Komunikasi
Universitas Bumi Hijrah Maluku Utara
SUBUH itu, malam mulai berpamit ditandai dengan garis putih di ufuk timur tersiram fajar yang mencakar, dan partikel-partikel udara mengembun menjadi air memandikan ilalang dan rumput jalanan, menambah aura dingin menusuk tulang, ayam kampung berkokok nyaring membuka awal hari, Minggu, 18 Agustus 1946. Di Tanjung Mareku, wilayah Kesultanan Tidore.Tiang bambu kuning berdiri kokoh, dua buah potong kain merah dan putih yang disatukan dengan benang tradisional dari anyaman daun nanas, menjadi simbol pembebasan dan perjuangan, bendera merah putih telah siap diatas baki kuningan untuk dikibarkan.
Lalu sekelompok patriot muda berbaris rapi, mengibarkan bendera merah putih yang tersulam dari kain adat salai jin, terdengar lolongan keras aba-aba penghormatan. “pada sang merah putih, hormaaaaaaaaaaat grak,”. Sontak semua tangan terangkat diatas pelipis, penuh khidmat, menyaksikan merah-putih merangkak naik hingga puncak tertinggi, seolah berduet bersama sang surya yang mulai menaiki tahta langit, angin pagi bertiup memainkan bendera perlahan berkibar bebas, sebuah ultimatum terukir tepat dibawah tiang bambu itu “Siapa berani menurunkannya, diganti dengan nyawa.” Sebuah penegasan bahwa wilayah Indonesia bagian timur juga adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengibarkan Merah-putih diharamkan oleh kolenoial Belanda di tanah Kepulauan Maluku, Sulawesi dan Papuayang saat itu berada dibawah kekuasan Negara Serikat Indonesia Timur, negara boneka bentukan Belanda, karena secara de facto, Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya terdiri dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan, maka gerakan perjuangan dari gerbong timur indonesia juga perlu digerakan untuk bergabung dengan NKRI, maka dalam upaya mempersatuakan NKRI, Arnold Mononoetoe dan Chasan Boesorie diutus untuk menegakan sangsaka di bumi kie raha.
Aksi patriotisme itu bukannya tak beresiko, mengibarkan bendera di Tidore sama artinya dengan memproklamasikan Tidore dan Papua menjadi bagian dari NKRI karena Papua adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore, namun, efek buruk yang harus ditanggung atas peristiwa itu adalah para pemuda yang mengikuti prosesi kebangsan itu diciduk oleh serdadu Belanda dan dihukum secara tidak manusiawi, di kantor polisi Soasio, sementara otak penggeraknya di bawah ke Benteng Oranje di Ternate. Tersebutlah nama-nama seperti Abdullah, dan penjahit bendera Amina, harus merasakan perihnya siksa polisi kolenial.
Penahanan atas para pelaku pengibaran bendera itu menimbulkan gejolak dalam masyarakat yang berimbas pada gerakan penyerangan kantor polisi di soasio, sehingga banyak polisi yang menyelamatkan diri ke Ternate, mengkhawatirkan gejolak yang lebih besar akan terjadi maka langkah memburu para otak penggerak seperti Mononoetoe dan Boesorie pun dilakukan oleh polisi Belanda.
Kronologis atas peristiwa ini seperti yang diceritakan oleh Umar Yasin, tokoh adat Mareku dan juga menjabat sebagai sangaji laho dalam jajaran Kesultanan Tidore, Yasin mengisahkan.
“Rencananya bendera itu dikibarkan di Ternate, akan tetapi kondisi keamanan di Ternate tidak menjamin untuk terlaksananya pengibaran bendera, dan perlu saya tegaskan bahwa pengibaran bendera merah putih di Tidore ini merupakan yang pertama di Indonesia Timur, hal ini bisa dibuktikan bahwa, secara de facto, NKRI hanya memiliki Sumatra, Jawa dan Kalimantan saja, sedangkan wilayah timur indonesia berdiri suatu negara boneka bentukan Belanda yang bernama Negara serikat Indonesia Timur,” katanya mengawali cerita , Jumat (18/8/2017).
Butuh rentan waktu selama satu tahun semenjak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, dan satu tahun plus satu hari barulah diadakan seremoni pengibaran sang saka di wilayah Indonesia bagian timur untuk yang pertama kalinya, dan semenjak itu langkah perjuangan itu tak pernah henti hingga klimaksnya pada tahun 1948, negara serikat Indonesia Timur berpadu dengan ibu pertiwi.
“Perjuangan ini tak lepas dari partisipasi Sultan Tidore saat itu, Zainal Abidin Syah yang mendukung Indonesia timur bergabung dengan NKRI, hal ini terlihat saat konvrensi Melino pada tahun 1946, Sultan diberikan tiga opsi, yang pertama, bersama papua mendirikan negara sendiri, kedua, bergabung dengan Negara Serikat Indonesia Timur dan Ketiga, Bergabung dengan NKRI, dan dengan yakin Sultan menjawab bahwa bergabung dengan NKRI adalah pilihannya,” jelas pensionan PNS yang juga lulusan ilmu sejarah ini.
Gerak perjuangan terus dilakukan sampai tertuniakan indonesia dari Sabang sampai Merauke, dengan melewati perjauangan pembebasan Iran barat, dan sekutu yang menarik diri dari pangkalan militernya di pulau Morotai, rentetan perjuangan ini bukan hanya sekedar merelakan diri berjuang untuk pepbebasan namun juga keikhlasan untuk bergabung dengan NKRI dari pada membentuk negara sendiri seperti yang di contohkan Sultan Zainal Abidin Syah, yang memilih menjadi Gubernur Propinsi Irian Barat dan membantu Soekarno, daripada menjadi pemimpin negara boneka bentukan Belanda dan melakukan makar terhadap NKRI.
Untuk mengabadikan peristiwa pengibaran bendera merah-putih pertama di wilayah Indonesia bagian timur maka pada tahun 2009 lalu telah didirikan sebuah monumen di tanjung Mareku sebagai prasasti sejarah yang akan dikenang oleh generasi dimasa yang akan datang. (***)