Pernah nonton film The Italian Job?.
Kisah film produksi 2003 ini terbilang epik untuk sebuah aksi kriminal berupa pencurian permata. Kerjasama dan komitmen kawanan perampok yang dipimpin Donald Shuterland ini sukses besar karena semuanya bekerja untuk satu tujuan. Saya bukan hendak mengajak melakukan perampokan tapi dari The Italian Job, kita bisa belajar tentang semangat meraih impian saat kondisi terjepit.
Jerman malam ini (subuh waktu Ternate) butuh sesuatu yang lebih dari sebuah pertandingan sepakbola untuk menjaga harga diri dan nama besarnya dalam sejarah sepakbola dunia. Partai lawan Kosta Rika bisa punya dua dampak. Pertama, jika menang dan lolos ke fase “knock out”, Jerman tak hanya menghapus mimpi buruk empat tahun lalu di France 2018 – saat dikalahkan Korsel dan jadi rekor buruk pertama tersingkir dari fase grup plus dalam posisi sebagai juara bertahan – tetapi juga akan menegasi jati diri sebagai salah satu tim terbaik dunia dengan empat bintang. Lolos dari fase grup juga membuat Jerman makin matang secara mentalitas dan lawan akan jerih karena sang spesialis turnamen telah terlahir lagi.
Jika kalah atau gagal lolos, maka akan jadi reputasi paling buruk – tersingkir dua kali secara berurutan pada saat fase grup di dua piala dunia. Mentalitas banyak anak muda semisal Musiala dan Moukoko juga akan terganggu. Regenerasi Jerman akan tercoreng dan Hansi Flick memikul beban psikologis yang sangat berat.
Yang bikin pusing, langkah Jerman tergantung pertandingan lain di grup E. Meski menang atas Kosta Rika, hasil Spanyol vs Jepang ikutan berpengaruh. Ada tiga skenario yang rasional dan berpusat pada penampilan Spanyol. pertama : jika Spanyol menang atas Jepang dan Jerman mengalahkan Kosta Rika maka Spanyol jadi juara grup dan Jerman jadi runner up. Kedua Jika Spanyol vs Jepang berakhir imbang, Jerman wajib menang dengan selisih dua gol untuk melaju ke babak 16 besar. Dan skenario Ketiga Jerman wajib menang besar jika Jepang mengalahkan Spanyol. Saat ini agregat gol Musiala dkk adalah -1, jauh berbanding +7 yang dimiliki Spanyol atau Jepang dengan 0.
Skenario di atas mengisyaratkan satu hal yang tak bisa ditawar. Jerman fokus untuk menang dengan banyak gol. Saya meyakini Spanyol akan bermain ngotot karena semua tim masih punya peluang lolos yang sama. Selain itu, Jepang atau Kosta Rika bisa jadi juara grup jika mengalahkan Jerman. Posisi juara grup akan jadi salah satu faktor penentu mengapa saya meyakini Spanyol akan berburu kemenangan. Dua jam sebelumnnya, di grup F, sangat mungkin Kroasia atau Belgia akan jadi juara grup. Melihat laga Belgia saat dikalahkan Maroko, terbuka peluang Luka Modric dkk kembali menang saat lawan Belgia. Artinya, posisi juara grup E akan lebih berpeluang ke delapan besar karena terhindar dari juara grup F.
Apa yang harus dilakukan Jerman?. Menurut saya ada dua faktor utama jika ingin menang atas Kosta Rika. Pertama kembalikan mentalitas Jerman sebagai tim besar spesialis turnamen. Doktrin deutch uber alles atau Jerman di atas segalanya yang jadi fondasi utama saat juara tahun 1954, 1974, 1990 dan 2014 mesti ada di dada semua pemain tanpa kecuali. Implementasi paling nyata dari “deutch uber alles” terjadi di Roma 1990 saat juara untuk ketiga kalinya karena Jerman harus tersakiti di dua final sebelumnya – Espana 1982 kalah dari Paulo Rossi dkk dan Mexico 1986 saat kalah dari Maradona dkk.
Mentalitas ini juga terlihat saat membantai Brazil 7-1 di semifinal dan mengalahkan Argentina 1-0 di final delapan tahun lalu. Di Qatar 2022, ciri khas Jerman ini raib terutama saat melawan Jepang. Ada kesan jumawa dan menganggap remeh lawan. Sesuatu yang diharamkan Franz Beckenbauer saat jadi pemain juara di edisi 1974 dan pelatih juara di tahun 1990. Mentalitas Jerman membaik saat menahan imbang Spanyol di laga kedua.
Ada pendapat umum jika dalam kondisi tertekan, Jerman akan bermain sangat ekspresif dan dominan. Saya berharap, dalam posisi terjepit malam ini, kekuatan Jerman yang sebenarnya akan muncul dan terus meledak hingga akhir turnamen.
Syarat kedua yang tak kalah krusial adalah penentuan starting eleven saat menghadapi Kosta Rika. Melihat hasil dua laga awal – kalah 1-2 dari Jepang dan imbang 1-1 lawan Spanyol, ada masalah serius di lini depan Der Panzer. Hanya bikin dua gol – hanya satu dari open play padahal punya banyak peluang harusnya bikin Flick berani memainkan Nichlas Fullkrug sejak sepak mula. Fullkrug terbukti efektif dan punya naluri membunuh di dalam kotak pinalti lawan dibanding Muller yang tak lagi sebagus delapan tahun lalu. Agar Fullkrug bermain fokus untuk bikin gol, Flick sebaiknya memainkan Muenchen Connection sejak awal. Maksud saya, trio Leroy Sane – Serge Gnabry di sayap dan Jamal Musiala bermain di belakang Fullkrug akan lebih mematikan. Sane, Gnabry dan Musiala adalah trio andalan di Muenchen musim lalu saat trebble winner.
Di tengah, Muenchen Connection akan diwakili Joshua Kimmich dan Leon Goretzka. Kimmich mengatur tempo dan membagi bola sedangkan Goretzka diminta untuk jadi defensive midfielder dengan tugas merusak alur serangan Kosta Rica. Di depan Muenchen ke enam – Manuel Neur – , formasi empat bek sejajar dengan duet Rudiger-Sule diapit Raum dan Kehrer/Klostermann memberi jaminan cleansheet.
Jangan lupa fakta bahwa sukses Jerman meraih empat Piala Dunia selalu berbanding lurus dengan keberadaan Muenchen Connection. Ada Philp Lahm dkk di Brazil 2014, Lothar Matthaus dkk di Italia 1990, Beckenbauer dkk saat jadi tuan rumah 1974 dan Helmut Rahn dkk saat final yang disebut sebagai “keajaiban Bern” 1954.
Kosta Rika secara tim berada dua level di bawah Jerman. Meski begitu sikap menganggap remeh tak boleh ada selama 90 menit. Jika mentalitas Der Panzer menjadi pedestal tim secara kolektif dan Muenchen Connection dimainkan sejak awal oleh Flick – yang sukses bersama Musiala dkk saat jadi pelatih yang membawa “The Bavarian” juara UCL, Liga Jerman dan Piala Jerman hingga juara dunia antar klub – kita bisa optimis Jerman akan jadi pemenang dan berkiprah hingga laga terakhir di Qatar 2022.
Penulis :
Asghar Saleh
Ka Bakomstrada Partai Demokrat Maluku Utara