SOFIFI, AM.com – Keberadaan perusahaan pertambangan di Pualu Taliabu dan Pulau Mangoli bukan hal baru. Bahkan sudah memakan banyak korban, speeti perkebunan rakyat DNA lahan warga yang masuk areal pertambangan. Namun hingga saat ini belum ada langkah evaluasi yang dilakukan pemerintah provinsi Maluku Utara. Padahal sudah bercokol sejak 2009-2010 lalu.
Mirisnya, sudah sejak tahun 2013 izin produksi dikeluarkan di Pulu Taliabu, dan bahkan beberapa Izin Usaha Pertambangn (IUP) telah dikeluarkan di tahun 2008-2015 dan terakhir 2017 lalu. Komisi III DPRD provinsi Maluku Utara baru kaget begitu banyak perusahaan telah “mengepung” Pulau Taliabu dan Mangoli (dan bahkan sudah masuk pemukiman warga.
Persoalan ini Justeru mencuat setelah komisi III mempertanyakan ke Dinas ESDM terkait tuntutan masyarakat di Gebe. Didalam rapat kepala Dinas ESDM mempersilahkan DPRD membuka data Kementerian ESDM dalam aplikasi Minerba One Map Indonesia (Momi), DPRD dibuat terkejut.
Ketua komisi III, Zukifli Hi. Umar menuturkan, pembahasan kaitan dengan tambang awalnya komisi III dapat aduan masyarakat dari pulau Gebe terkait dengan dua tuntutan yaitu evaluasi IUP, termasuk permintaan penyiutan lahan untuk digunakan sebagai areal pertanian dan perkebunan.
Dinas ESDM mengungkapkan data – data perusahaan Tambang untuk pulau Gebe l 7 perusahaan tambang, sementara untuk Pulau Taliabu sebanyak 90 lebih perusahaan tambang dan Pulau Mangole Kepulauan Sula.
Diakuinya, memang semua belum beroprasi ada yang sudah beroprasi di Gebe sedangkan Mangole PT. Aneka Miniral Utama, PT. Wirabahana Parkasa, PT. Wira Bahana Kilau Mandiri, PT. Indotama Miniral Indonesia meliputi 16 Desa di Pulau Mangole Kepulauan Sula.
Diketahui Perusahaan yang diterbitkan izin oleh Bupati Ahmad Hidayat Mus pada tahun 2010 saat itu di Sula dan Taliabu dimana kewenangan izin waktu itu masih di Kabupaten, sehingga kini dibawah kepimpinan kedua adiknya Aliong Mus bupati Taliabu dan adiknya Fifian Adeningsi Mus bupati Sula.
Menurut zulkifli, Cakupan lahan ini menyangkut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebelumnya saat komisi rapat dengan dinas Kehutanan. Saat dibuka Dinas Kehutanan belum memberikan izin sebagai syarat izin operasi produksi (OP) di perusahaan itu karena satu daerah boleh ada izin untuk OP jika areal di wilayah tersebut maksimal 10 persen dari total luas hutan.
“Jadi misalnya pulau Gebe luas hutan 14 000 maka maksimal areal tambang yang OP diwilayah tersebut minimal 1 400 hektar tidak bisa melebihi”,bebernya.
Zulkifli mengatakan, cakupan lahan di Pulau Gebe itu melebihi izin yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten melebihi 10 persen karena itu Dinas kehutanan belum terhadap daerah tambang.
disebutkan,kalau di Gebe 7 IUP sekarang beroprasi PT mineral Terobos,Fajar Bakti.
begitu pula yang terjadi di Taliabu dan Pulau Mangole belum ada izin IPKH.
“Kalau dilihat cakupan lahan secara menyeluruh memang cakupan hampir seluruh areal di Taliabu. itu cakupan lahan areal tambang kalau kami lihat peta Momi itu seluruhnya sudah tertutup dengan areal tambang yang jaman itu itu izinnya dikeluarkan bupati”,ungkapnya.
tetapi, kata Zuljifli, karena aturan IPPKH 10 persen itu bisa jadi belum bisa dilakukan produksi itu.
Menurutnya, memang tidak akan bisa selamnya bila melebihi 10 persen itu. yang menjadi pertanyaan jaman itu kenapa pemerintah kabupaten dibawah kepemimpinan Ahmad Hidayat Mus bisa mengeluarkan IUP yang hampir seluruh menutupi areal pemukiman.
“Saya kira ini menjadi bahan evaluasi. Saya bilang di dinas pertambangan tolong dievaluasi seluruh areal tambang di wilayah tersebut dan kalau memang mengacu pada IPKH seharusnya ada areal tambang yang harus dicabut karena tidak memenuhi 10 persen aspek IPPKH kehutanan itu”,tegasnya.
Olehnya itu perlu diidentifikasi ESDM untuk diusulkan ke Pemerintah pusat. Jika sebelumnya ada 3 IUP yang dicabut Presiden tahun 2021 lalu maka yang diharapkan yang lain juga diodentifikasi untuk diusulkan ke pemerintah pusat karena menyangkut luas hutan hampir tidak ada lagi hutan.
“Itu kan menjadi tugas pemerintah mengevuasi mengidentifikasi sampaikan ke pemerintah pusat bahwa ini tidak melalui aturan dalam IPKH”,pintanya.
Dijelaskan, DPRD sudah mendorong dinas ESDM untuk melakukan langka-langka itu. tetapi menjadi catatan beberapa daerah tertutupi areal tambang yang sebenarnya sudah tidak layak lagi walaupun beroprasi.
Saat ini komisi III baru lihat data karena diberitahukan setelah buka data Momi baru diketahui.
“Kami belum buka satu persatu perusahan apa saja dan memang tong identifikasi apa aktif produksi mana yang belum”,jelasnya.
Komisi III juga, Kata politisi PKS ini, mendesak ESDM melakukan identifikasi perusahaan yang tidak memenuhi IPKH dan memasuki wilayah perkampungan untuk dievaluasi dan dicabut karena ini masalah hajat hidup aspek ekonomi masyarakat.
Arrtinya. Lanjut Zulkifli, kalau sebelumnya ketika pemerintah memberikan kordinat kepada perusahaan tambang akhirnya masyarakat tidak bisa masuk untuk melakukan aktifitas ekonomi entah untuk perkebunan atau pertanian. Sehingga itu menyebabkan kemiskinan meningkat karena masyarakat dibatasi ruang – ruang akses ekonomi itu.
“Seharusnya pemerintah sekarang yang mengetahui aturan membatasi 10 persen IPPKH mestinya dievaluasi terhadap seluruh areal perusahan sehingga membuka ruang ke masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi apakah perkebunan,pertanian yang menimbulkan kehidupan ekonomi yang berkepanjangan”pungkasnya.