FPRO: Maluku Utara Bukan Toilet
SOFIFI,AM.com – Puluhan massa aksi yang mengatakan nama Forum Perjuangan Rakyat Obi (FPRO) Kota Ternate, menggelar aksi di depan kantor Gubernur Maluku Utara di Puncak Gosale, Kota Sofif. Senin (18/1/2021).
FPRO dalam tuntutannya meminta kepada Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba agar mencabut sejumlah izin eksplorasi tambang yang dinilai sangat merusak lingkungan dan merampas hak ruang hidup masyarakat yang berada di Maluku Utara.
“Hal ini diperparah dengan rencana pemerintah untuk membuang limbah
tailing nikel di perairan kepulauan Obi, melalui proyek Deep Sea Tailing Placement atau pembuangan limbah nikel ke laut dalam untuk pabrik hidrometalurgi, dan telah mendapatkan izin lokasi perairan dari Gubernur Maluku Utara, dengan No SK 502/01/DPMPTSP/VII/2019 pada 2 Juli 2019 lalu,” ungkap koordinator aksi, Adam Basirun.
Adam menyebutkan, keputusan gubernur tersebut jelas berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat nelayan, proyek pembuangan tailing ini, secara tidak langsung tengah mematikan sumber penghidupan masyarakat kepulauan Obi,
terutama bagi lebih dari 3000 keluarga nelayan perikanan tangkap yang menjadikan laut sebagai satu-satunya tempat mencari nafkah.
“Bahkan, proyek pembuangan limbah taliling ini berisiko besar bagi kesehatan masyarakat, baik karena terpapar secara langsung akibat beraktivitas di laut, maupun terpapar secara tidak langsung akibat mengonsumsi pangan laut,” tegasnya.
FPRO dalam aksinya juga membawa spanduk yang bertuliskan ‘MALUKU UTARA BUKAN TOILET’ sebagai ungkapan secara tegas mendesak gubernur agar mencabut izin tersebut.
Selain itu, FPRO juga mendesak agar mencabut izin Gubernur Provinsi Maluku Utara yang telah mengeluarkan SK No 52/7/DPMPTSP/XI/2018 tentang izin usaha pertambangan PT. AMAZING TABARA yang bergerak di sektor emas dengan luasan konsensinya sebesar 4.655 hektare.
“Ini nantinya akan mengancam basis Produksi masyarakat di sektor nelayan dan pertanian seperti pala, cengkih, kelapa dan lainnya, termasuk juga bakal mengeksekusi lokasi Desa Anggai – Sambiki yang masuk dalam konsesi lahan tersebut,” ungkap Adam.
Padahal menurutnya, kehadiran perusahaan tersebut sangatlah bertentangan dengan undang-undang No 39 tahun 1999 tentang HAM di mana masyarakat punya hak : 1 ) Hak untuk hidup, 2 ) hak memperoleh keadilan, 3 ) hak hidup tentram dan bahagia dan 4 ) hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan baik.
“Dan bertentangan juga dengan prinsip musyawarah mufakat di dalam UU Desa No 6 tahun 2014 dikarenakan sejauh ini tidak pernah ada sosialisasi kepada masyarakat Desa Anggai -Sambiki mengenai keberadaan perusahaan tersebut, Serta mengkhianati semangat UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 tentang tanah untuk petani penggarap,” ungkapnya.(Ong)