Oleh:
Suarez Anto Yunus Faroek
Praktisi Hukum Perburuhan
Negara Indonesia yang meletakkan the rule of Law sebagai suatu Konsep yang bertitik tolak pada tiga unsur utama sebagai Negara Hukum. Pertama, Supermasi hukum / Supremacy of Law, Kedua, persamaan di hadapan hukum / equality before the law, dan ketiga, Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perseorangan / the constitution based on individual rights. Dalam negara domocrazy seperti Indonesia, hukum harusnya menjadi panglima. Dan aparat penegak hukum seharusnya tampil sebagai pelindung dan penjaga hukum protectors and guards of the law agar hukum bisa berdiri tagak.
Pada konteks ini, penulis melihat masih nampak ketidak-adilan selalu dialami oleh kaum buruh. Nasib buruh menjadi bahan perbincangan di semua kalangan, baik akademisi, praktisi, aktivis/serikat Buruh, dan sejumlah pemerhati hukum perburuhan lainnya. Persoalan yang menjadi object perbincangannya adalah terkait persoalan hak buruh yang dikriminalisasi oleh Corporate.
Salah satunya adalah kebijakan Perusahaan yang meliburkan buruh tanpa upah atau kebijakan “Unpaid Leave“. Stagnasi dan atau fluktuatif jumlah terkonfirmasi positif COVID-19 yang semakin hari terdengar semakin memburuk. Nampaknya dimanfaatkan oleh Perusahaan untuk mengeluarkan kebijakan sepihak dengan dalil financial income yang mengalami defisit akibat kondisi negara yang dilanda Corona Virus.
Kebijakan sepihak terkait Unpaid Leave tanpa bermusyawarah dan mendengar aspirasi buruh/pekerja adalah merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Hal ini menarik perhatian penulis untuk menganalisis dari sisi normatif an sich terkait adanya kebijakan Unpaid Leave yang diterapkan oleh Perusahaan Sahid Bela Hotel Ternate yang dapat dikualifisir sebagai suatu kebijakan sesat atau Fallacy Paralogis yang akan penulis uraikan sebagai berikut :
Pertama : Kesesatan dalam menafsirkan “Unpaid Leave”
Jika menelaah istilah Unpaid Leave dalam nomenklatur hukum Ketenagakerjaan, maka istilah ini merujuk pada pengertian penggunaan hak “Cuti diluar tanggungan atas izin yang diberikan oleh pengusaha kepada karyawannya untuk tidak bekerja sementara waktu, di mana yang bersangkutan tidak menerima upah, tunjangan, dan fasilitas dari perusahaan selama masa cuti”. Sehingga dalam praktik, perusahaan selalu mengeluarkan kebijakan untuk memilih dan memilah buruh/pekerja yang mana saja yang dapat di istirahatkan/diliburkan/ dirumahkan untuk sementara waktu. Bahkan ada buruh yang di istirahatkan atau dirumahkan sampai dengan berbulan-bulan tanpa upah. Kebijalan seperti ini tentu merugikan buruh. Buruh yang bekerja dengan upah seadanya, kini harus dirumahkan dengan batas waktu yang tak pasti. Kebijakan perusahaan yang demikian merupakan bentuk diskriminasi dan krikinalisasi hak buruh. Oleh sebab itu, kebijakan Unpaid Leave seharusnya dilakukan setelah memperoleh usulan, saran, dan masukan dari Buruh. Agar pelaksanaan kebijakan Unpaid Leave dapat berjalan dengan baik karena didasari oleh asas transparansi dan musyawarah untuk mendapatkan win-win solution. Akan tetapi, banyak perusahaan yang menafsirkan Unpaid Leave sebagai hak yang melekat kepada Perusahan, sehingga dalam mengambil keputusan tanpa perlu mendengar dan menerima masukan dari buruh. Hal ini yang menurut hemat penulis sebagai bentuk kesesatan berpikir dalam menafsirkan Unpaid Leave secara sepihak.
Kedua : Analisis Normatif Terkait Unpaid Leave.
Jika melakukan reseach for the true terkait norma yang mengatur soal Unpaid Leave sesungguhnya merujuk kepada ketentuan Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Yaitu “Upah tidak dibayarkan apabila buruh tidak melakukan pekerjaan”. Ketentuan ini kemudian melahirkan asas “No Pay No Work” / Tidak ada pekerjaan tidak ada upah. Sehingga, banyak perusahan yang melakukan kebijakan Unpaid Leave selalu merujuk pada ketentuan Pasal 93 Ayat 1 sebagai dasar legitimasi yuridis. Akan tetapi, pasal 93 Ayat 1 tersebut ada pengecualian dan tidak dapat diberlakukan terkait ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam Ayat berikutnya yaitu Ayat 2 huruf (a) sampai dengan huruf (i) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga, kebijakan Unpaid Leave selalu bertabrakkan dengan ketentuan Pasal 93 Ayat 2 huruf (f) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, buruh berhak mendapatkan Upah sekalipun telah dirumahkan oleh Perusahaan.
Jika kita menafsirkan Unpaid Leave sebagai suatu “hak cuti tanpa upah”. Maka yang namanya hak cuti, selalu melekat kepada pemegang hak. Apakah hak itu hendak diambil ataukah tidak, tergantung dari pemegang hak yaitu buruh, Namun kemudian, Perusahan selalu menafsirkan bahwa hak buruh juga bagian dari hak Perusahaan sehingga tak jarang banyak perusahan yang memaksakan buruh untuk segera mengambil haknya termasuk hak cuti. Hal ini merupakan kesesatan dalam memahami suatu norma dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, penulis menilai bahwa kebijakan Perusahaan Hotel Sahid Bela Ternate yang menerapkan pemberlakuan Unpaid Leave tanpa terlebih dahulu mendengar masukan, saran, dan pertimbangan buruh. Maka hal tersebut akan menimbulkan keresahan dan protes dari sejumlah buruh karena merugikan kepentingan keadilan bagi buruh atau Interest in the justice of labour.
Maka dari itu, solusi yang hendak penulis tawarkan dalam tulisan ini terkait adanya kebijakan Unpaid Leave adalah:
Pertama, perlu melakukan musyawarah dan mendengarkan aspirasi buruh sebelum melakukan kebijakan Unpaid Leave.
Kedua, pemberlakuan Unpaid Leave harus dibuat dalam bentuk Perjanjian antara perusahaan dengan buruh yang secara tegas menyebut batas waktu berlakunya kebijakan Unpaid Leave. Sehingga, buruh dapat mengetahui dengan pasti berapa lama ia harus dirumahkan. Sebab, tanpa pengaturan batas waktu justru menimbulkan ketidak-pastian hukum. Buruh yang dirumahkan atas kebijakan Unpaid Leave dan tidak dipanggil kembali sampai berbulan-bulan akan mengira bahwa mereka telah di PHK. Sehingga memilih untuk mencari pekerjaan lain.
Ketiga, kebijakan Unpaid Leave tidak menggugurkan Kewajiban Perusahaan untuk tetap membayar upah kepada buruh sepanjang kebijakan Unpaid Leave bertentangan dengan ketentuan Pasal 93 Ayat 2 huruf (f) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Sehingga, perusahaan diwajibkan untuk tetap membayar upah kepada buruh sekalipun buruh dirumahkan dengan besaran dan jumlah upah ditentukan melalu kesepakatan bersama antara perusahaan dan buruh. (∆)