Reporter: Dirman Umanailo
TERNATE,AM.com – Ketika Wakil Gubernur Maluku Utara, Al Yasin Ali “diasingkan” oleh Gubernur Abdul Gani Kaduba (AGK) dalam penanganan Covid-19. Membuat Pakar Hukum Tata Negara, DR. Hendra Karianga menilai, Gubernur merusak etika birokrasi dan membuka jalan korupsi di tubuh Pemerintah Provinsi.
Menurut Hendra, kedudukan sistem pemerintahan harus sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah bahwa, Wakil Gubernur mempunyai fungsi strategis, dimana Wagub melaksanakan tugas-tugas pengawasan internal yang sifatnya koordinatif.
“Jadi, Wagub tidak bisa dianggap sebagai cadangan, melainkan menjadi penting dalam penegakan pemerintahan yang akuntabel,” ucap Hendra kepada Wartawan, Sabtu (9/5/2020).
Hendra menjelaskan, dalam pengambil kebijakan harus Gubernur bukan Wagub, tetapi dalam rangka mewujudkan tata kelola Pemerintahan yang bagus atau disebut dengan Good governance. Maka dari itu, Gubernur tidak boleh monopoli dalam pemerintahan.
“Disaat ada kesusahan, Wagub diajak, giliran yang senang-senang, Wagub ditinggalkan. Inikan tidak ada etika namanya. Di pemerintahan perlu ada etika, namanya etika pemerintahan, rohnya itu di situ,” terangnya.
Bagi Hendra, dalam penanganan Covid-19 harus melibatkan Wagub karena Wagub adalah pengendali pengawasan internal. Jika tidak dilibatkan, itu sangat keliru dan melahirkan pemerintahan yang kacau dan korupsi. Lanjut dia, Wagub mempunyai hak mengambil keputusan strategis, dengan tujuan menghemat anggaran daerah dalam bencana non alam.
“Menurut saya, ada upaya menghilangkan pengawasan dana covid-19 sehingga Wagub tidak dilibatkan, poinnya di situ,” tegasnya.
Selain itu, Hendra menyampaikan, dari sisi hukum ketatanegaraan, Gubernur dan Wagub memiliki fungsi yang sama-sama strategis, guna menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Dari sisi demokrasi, Gubernur tidak bisa monopoli pemerintahan. Sebab katanya, pemerintahan yang monopoli akan melahirkan oligopoli, dan praktek oligopoli inilah yang sangat membahayakan pemerintahan. Karena disitulah kekacauan birokrasi dan praktek korupsi terjadi.
“Gubernur dan Wagub harus seiring sejalan. Karena visi pemerintahan yang ada dalam RPJM dan RKPD, merupakan penjabaran dari Visi-Misi Gubernur dan Wagub yang disampaikan saat kampanye, tidak ada yang namanya visi Gubernur, yang ada hanya visi pemerintahan yang didalamnya ada Gubernur dan Wakil Gubernur,” tutur Hendra.
Dikatakan, Gubernur tidak mampu mengelola pemerintahan seorang diri, tapi butuh peran stakeholred, termasuk pelibatan Wagub. Jika Gubernur tetap memaksakan diri, maka yang muncul hanyalah pemerintahan yang amburadul.
“Gubernur harus tahu diri, bahkan dalam mengambil keputusan strategis dan monumental, Gubernur harus mendengarkan saran dan nasehat Wagub. Ini perintah Undang-Undang. Jangan karena ada uang Rp 148 Miliar lalu wagub ditinggalkan begitu saja,” pungkasnya. (∆)