spot_imgspot_img

Paradoks Pilkada Serentak

Pemilihan Kepala Daerah Serentak, atau sering disebut Pilkada serentak merupakan terobosan pemerintah untuk menghemat anggaran Pemilukada. Pada prinsipnya, Pilkada merupakan suatu momentum demokratisasi sebagai bagian penting dalam melaksanakan cita-cita reformasi yang diamanatkan dalam konstitusi, setiap momentum Pilkada hampir semua ruang hidup diisi dengan berbagai argumentasi setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari setiap pasangan calon memainkan peran melalui partai maupun relawan lebih akrabnya dalam akronim politik Indonesia disebut dengan tim sukses, isu-isu yang dimainkan setiap saat tidak lepas dari issue SARA, sehingga membelah basis pendukung setiap pasangan calon.

Sepintas Pilkada juga mempertontonkan perilaku elit lokal, baik yang didalam kekuasaan maupun diluar kekuasaan. Perilaku arogansi elit lokal bersinergis dengan sentralisme partai politik, arogansi tersebut semuanya berawal dari ingin memenangkan kandidat sehingga menggunakan politik machievelian, lebih ekstrim bahkan menggunakan para normal untuk mengalahkan lawan politiknya.

Secara konstitusional, substansi dari Pilkada adalah jelmaan cita-cita reformasi sebagai akibat dari rezim sebelumnya yang sentralistik. Namun dalam prakteknya, justeru memberikan ruang partai politik mendominasi setiap pelaksanaan Pilkada. Didalam dominasi tersbut, sangat relevan dengan kondisi daerah dimana pembelahan sosial dari basis pendukung yang terus memainkan sentiment dalam meyakinkan pemilih, bukan argument justeru berdampak pada agenda Pilkada yang mendasar, yaitu memilih pemimpin yang dapat melaksanakan pemerintahan sehingga tercipta kesejahteraan dan kemandirian daerah.

Terlaksananya agenda paling mendasar dari Pilkada adalah terciptanya suatu pemerintahan yang good dan cleans governance. Namun justru tidak terjadi dikarenakan Pilkada hanya lebih berdampak pada segelintir elit lokal dan dinasti politik lokal, dalam prakteknya berorientasi pada konsep penyelenggaraan pemerintahan yang koruptif, nepotisme, dan kolusi (KKN). Begitu juga dominasi partai politik, meski sebagai infra struktur sistim pemerintahan demokrasi namun dalam prakteknya partai politik masih mengidap perilaku orde baru, orde yang sangat sentralisme.

Dalam perkembangannya, otonomi daerah merupakan upaya pemerintah dalam merespon perubahan zaman hingga dapat memberikan kesejahteraan bagi daerah sehingga terlaksananya pemerintahan yang sesuai dengan sila ke-lima. Namun desentralisasi terkesan paradoks, sebab desntralisasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat justeru melahirkan orang kaya baru dan raja-raja kecil di daerah. Paradoksnya, desentralisasi dikarenakan pemerintah merespon perubahan dengan desentralisasi tidak kemudian terjadi di internal partai politik.

Partai politik sebagai instrument demokrasi justeru masih menganut sentralisme, sentralisme yang dimaksud dapat diketegorikan dalam tiga komponen, yaitu komponen person (orang), policy (kebijakan) dan money (uang), (Nurdin Nurlailah). Dominasi partai politik melalui peran elit politik sangat mempengaruhi dalam menentukan pemimpin daerah. Partai politik sangat dominan dalam menentukan arah demokratisasi namun issue ini kemudian tidak menjadi konsumsi publik, sebab yang menjadi bahan kampanye setiap Cakada hampir tidak memberikan gambaran tentang dominasi partai dalam proses pencalonan bahkan penentuan pemimpin di daerah. Lebih extrimnya justeru aliran dana dominasi partai pada tiga aspek diatas justeru terasa dalam setiap momentum Pilkada, namun justeru masyarakat disuguhkan dengan isu sentiment dari berbagai partai pendukumg maupun tim sukses.

Sentiment kelompok berbasis asal-usul daerah, agama, dan kelas sosial justeru menjadi wacana yang disuguhkan. Sehingga terkadang pasca Pemilukada masyarakat banyak yang cenderung kurang percaya, baik dipihak yang memenangkan pertarungan maupun yang kalah, dari fase ke fase demokratisasi lokal mengalami stagnansi hingga berdampak pada rendahnya daya saing daerah dengan daerah lain. Namun dominasi partai ini kemudian subur karena dijadikan komoditi elit lokal maupun pusat yang secara kebetulan memahami issue dan menguasai informasi sehingga dengan gampangnya mengabaikan suara-suara rakyat, berkembangnya dominasi partai di daerah akan melahirkan oligarki sipil terhadap masyarakat.

Dampak dari oligarki dengan pelaksanaan pemerintahan daerah yang berorientasi pada pengelolaan sumber daya alam (pertambangan) justru akan menjauhkan partisipasi rakyat dalam agenda demokratisasi, sehingga kata sejahtera dan madiri hanya menjadi wacana elite dan dinikmati segelintir elit lokal karena memiliki relasi kuasa dengan pemerintahan, rakyat terus menjadi objek dari pembangunan bukan menjadi subjek hingga akan membuat rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap elit berdampak pada matinya demokrasi.

spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img

ASPIRASI NEWS

ADVERTORIAL

ASPIRASI SOFIFI

ASPIRASI TERNATE

ADVERTORIAL