Oleh: Wiranto
(Aktifis PMII Kota Tidore dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unibrah)
Bangsa ini harus dengan cerdas mengembalikan budaya berpolitik dengan mengedepankan politik gagasan disetiap perhelatan demokrasi. Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak kembali digelar di hampir seluruh daerah di Indonesia, baik provinsi dan kota/kabupaten.
Pilkada secara serentak di tahun 2020 ini merupakan yang ke sekian kalinya dalam catatan sejarah kepemiluan di Indonesia. Tercatat yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015 yang melibatkan 269 daerah, yang kedua di tahun 2017 yang melibatkan 101 daerah, yang ketiga terjadi di tahun 2018 diikuti 171 daerah. Sedangkan pada tahun 2020 melibatkan 270 daerah (terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota).
Pilkada merupakan salah satu cara yang dipakai dalam sistem demokrasi guna memilih orang untuk memimpin daerah tertentu dalam bentuk jabatan politik. Melalui pilkada, masyarakat memiliki wewenang untuk memilih calon yang bakal duduk di kursi kepemimpinan.
Kontestasi politik di Indonesia selalu menyajikan berbagai dinamika, terkhusus di Maluku Utara. Tentu hal itu akan berdampak pada kualitas demokrasi kita. Jika dinamika politik yang diciptakan itu baik, maka akan berkualitas pula demokrasi kita. Tetapi apabila dinamika politik yang diciptakan itu buruk, maka akan sangat tidak berkualitas demokrasi bangsa ini.
Politik Gagasan
Politik gagasan itu politik yang mengandalkan kekuatan pikiran atau akal bukan kekuatan yang lain seperti finansial, ketenaran, diplomasi, dan lainnya.
Sejatinya, politik merupakan tentang gagasan. Gagasan tentang apa yang dinilai baik dan adil bagi publik. Oleh karena itu, politik yang tidak bermuatan gagasan sesungguhnya telah melenceng jauh dari hakikat politik itu sendiri.
Dalam rekam jejak sejarah perjalanan bangsa, semua tokoh (founding father) saat memperjuangkan nasib negara bangsa ini sangat mengutamakan pemikiran mereka ketika berpolitik. Mereka beradu gagasan tentang nation-state, republik, federasi, dan demokrasi dengan bekal tumpukan buku.
Masih ditambah lagi perdebatan untuk menentukan ideologi negara mulai dari sosialisme, komunisme, islamisme hingga menelurkan Pancasila sebagai dasar negara yang dianggap finish hingga sekarang. Ini adalah bukti bahwa sejak awal pendirian negara, rakyat kita dididik dengan politik kelas tinggi yang kaya ide dan gagasan.
Fakta dan budaya ini yang harus dikembalikan sekaligus dipertahankan oleh seluruh anak bangsa di abad sekarang. Apalagi di era postmodern seperti saat ini, gagasan selalu menjadi sesuatu yang sering ditawarkan. Utamanya dalam praktik politik, apalagi di negara-negara yang sudah cukup matang demokrasinya.
Gagasan bukan hanya dijadikan partisi atau pelengkap, tapi lebih dari itu ia mesti dijadikan praktek politik secara fundamental. Yang paling penting ialah seberapa berdasar dan argumentatif gagasan itu disampaikan.
Kampanye Gagasan
Masa kampanye merupakan salah satu agenda terpenting dalam setiap perhelatan pesta demokrasi dan sangat berpengaruh terhadap nasib calon pemimpin yang bertarung. Menjadi tugas yang harus diprioritaskan ketika mengisi masa kampanye, bahwa dalam hal ini masa kampanye mesti diisi dengan ilmu pengetahuan, objektivitas, gagasan yang dituangkan dalam visi-misi bukan janji.
Tentu seluruh masyarakat dan daerah yang ada di Indonesia, Khususnya Daerah di Provinsi Maluku Utara membutuhkan pemimpin yang memiliki inovasi, gagasan, dan revolusioner.
Level politik kita harus naik kelas. Politik kita tidak lagi berada hanya dalam ranah citra, popularitas, atau bahkan ranah politik uang. Membawa politik berbasis gagasan ke dalam arena politik. Artinya, kita menyingkirkan hal-hal yang membuat gelaran demokrasi tersebut tidak elok dan tidak bermartabat.
Ahmad Harun Yahya (2019) mengatakan sudah semestinya para Kandidat Calon Kepala Daerah, Bupati/Wali Kota dan tim sukses bicara solusi beberapa persoalan dalam pembangunan ekonomi, pembangunan SDM, persoalan kemiskinan, pengangguran yang kesemuanya itu masih menjadi persoalan serius hingga saat ini. Bukan terjebak pada politik pencitraan demi memperoleh kemenangan.
Kandidat yang memiliki gagasan menandakan ia memiliki prinsip dan road map yang jelas ketika memimpin. Dengan kata lain, pembangunan daerah yang dipimpinnya sudah ada di pikirannya berikut dengan langkah-langkah rasional yang akan dilakukan.
Pendidikan Politik
Membuat rakyat cerdas dalam berpolitik itu dengan memberikan pendidikan. Sebab pendidikan pada prinsipnya adalah upaya untuk mencerdaskan.
Menurut Kartini Kartono (1996: 64), pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis atau moral dalam pencapaian tujuan politik.
Pembelajaran politik yang nyata dan aktual bukanlah didapat dari ruang-ruang pendidikan semata (sekolah, kampus). Tetapi, justru dari contoh harian yang diberikan oleh para politisi kita.
Itulah yang sesungguhnya menjadi pendidikan politik yang nyata dan aktual. Hal ini membutuhkan peran semua instrumen yang ada dalam masa Pilkada, yaitu peran Parpol, Tim Sukses, dan Kandidat.
Pertama, dalam proses menuju momentum politik (Pilkada), maka tugas partai politik (Parpol) harus melakukan pra kondisi, yakni menguji pikiran-pikiran dan menagih gagasan mereka yang mau bertarung dan menjadikan parpol sebagai alat untuk mencalonkan diri sebagai Kandidat. Dimaksudkan agar tidak ada lagi istilah memberi dan menerima bayaran atau politik transaksional.
Kurnia Yunita Rahayu (2020) menilai dalam tulisannya bahwa selama ini, perekrutan yang dilakukan partai politik tertutup sehingga muncul potensi transaksional. Mekanisme yang tidak transparan juga memperkuat posisi elite partai menentukan calon yang diusung secara subjektif.
Oleh karena itu, perekrutan secara terbuka dan melibatkan publik akan berkontribusi positif bagi pengembangan demokrasi. Karena dapat meminimalkan politik transaksional itu dapat terjadi.
Karena pada hakikatnya fungsi parpol sesuai Pasal 11 (a) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yakni partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas. Agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 31 juga menegaskan pentingnya dari tujuan melaksanakan pendidikan politik adalah sebagai peningkatan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan.
Pendidikan politik dalam undang-undang tersebut harus dilakukan oleh partai politik agar masyarakat sadar dalam berpolitik.
Kedua, tim sukses dan kandidat mesti melakukan sosialisasi secara intens, baik dengan tatap muka maupun melalui media sosial sampai ke paling bawa lapisan masyarakat tentang visi, misi dan gagasan kandidat untuk masa depan suatu daerah.
Ketiga, rakyat (pemilih) wajib untuk terus memfilter informasi dan perkembangan dengan menggunakan akal sehat secara objektif. Bahwa menentukan pilihan untuk memilih siapa akan menentukan masa depan diri sendiri dan orang lain termasuk masa depan bangsa dan negara.
Hal inilah yang paling penting dan harus sangat-sangat diperhatikan, dipikirkan, dan dipertimbangkan oleh seorang pemilih. Karena ini menyangkut masa depan sang pemilih itu sendiri.
Namun selama ini dalam pelaksanaannya, yang menjadi polemik ialah seorang pemilih menentukan pilihannya bukan berdasarkan hal tersebut. Akan tetapi, berdasarkan asas politik keakraban atau kekerabatan, asas kekeluargaan, asas suku, daerah, ras dan agama (politik identitas). Tentu akan timbul perbedaan yang signifikan dari kelompok yang mayoritas dan minoritas dan tentu hal tersebut akan merugikan.
Satu hal yang perlu ditegaskan bahwa bangsa ini harus dengan cerdas mengembalikan budaya berpolitik dengan mengedepankan politik gagasan di setiap perhelatan demokrasi yang bersifat teknis, baik itu pemilu, pileg, atau pilkada. Sebab hal sangat mengandung nilai yang positif dan bisa menghilangkan sesuatu yang negatif. Misalkan, (1) terhindar dari adu sentimen, (2) terhindar dari ego sara, dan lain sebagainya.
Akhirnya, mengutip Ali Rif’an (2019) bahwa kita berharap pelaksanaan pilkada serentak 2020 mampu menghadirkan kontestasi yang berintegritas. Sebuah kontestasi pemilu bisa dikatakan berintegritas jika seluruh elemen yang terlibat di dalamnya — baik partai politik, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, maupun peserta pilkada dan tim suksesnya — tunduk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan.