Reporter : Rusmin Umagapi
TALIABU,AM.com-Pedirian kantor Pengadilan Negeri (PN) kabupaten/kota wajib dilaksanakan oleh pemerintah, sesuai dengan perintah undang-undang nomor 8 tahun 2004. Namun, berbeda dengan kabupaten Pulau Taliabu, sejak dimekarkan menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) pada tahun 2013 lalu. Hingga kini belum memiliki kantor PN sendiri. Ini, lantaran pemerintah setempat tidak serius untuk mendirikan kantor PN Bobong. Padahal, sebelumnya sudah bersepakat dengan Pengadilan Tinggi Maluku Utara untuk mengsulkan pendirian PN Bobong ke Mahkamah Agung (MA).
Ketidakseriusan dukungan pemerintah daerah (Pemda) Pulau Taliabu ini terlihat, ketika melakukan pembebasan lahan. Semestinya dilakukan pembebasan lahan terlebih dahulu, sebelum dilakukan pengusulan anggaran pembangunan kantor PN Bobong.
Proses pekerjaan pembangunan kantor yang sudah masuk tahap pekerjaan ini terancam gagal dibangun, karena status lahan belum jelas dan lahan tersebut dikabarkan pemilik hak atas lahan tidak menerima harga lahan yang ditetapkan tim penafsir harga dari KJPP yang didatangkan oleh Pemda Taliabu melalui Dinas PUPR Pulau Taliabu.
Wakil ketua PN Bobong, Dedy Wijaya Susanto, saat dionfirmasi di ruang kerjanya, Kamis, (11/7/2019) mengatakan, keberadaan Pengadila bisa terselenggara, kalau ada dukungan dari pemerintah daerah, berupa penyiapan lahan untuk pengadilan karena, memang PN Bobong ini adalah Anomali Hukum, karena diluar standar baku yang biasa di laksanakan oleh Pengadilan.
“Seharusnya, sarana yang sudah ada dan terbentuk itu, sudah terbangun Polres, Kejaksaan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan terlebih dahulu baru pengadilan akan membangun seting plet (gedung sidang sementara), setalah itu layak dengan jumlah perkara tertentu, baru bisa di tingkatkan seting plet menjadi pengadilan”ungkap Dedy,
Kata Dedy, di sini, semua tahapan itu, kan tidak ada, bahkan tanahnya pun belum kami terima hibahnya tersebut, makanya saya katakan ini sebagai suatu Anomali Hukum, dan hal ini bisa terjadi karena Pemkab Pulau Taliabu sudah menjanjikan lahan tanah dalam jangka waktu yang dekat. Namun kenyataannya sampai saat ini belum ada, sehingga pelayanan kami tidak maksimal.
“Tidak maksimalnya pelayanan kami, selain dari sisi keberadaan tanah itu sendiri, sehingga kami tidak bisa membangun gedung pengadilan yang layak. Kami sudah tidak layak untuk bekerja karena, ruangan-ruangannya tidak mencukupi, kemudian hal-hal lain tidak mendukung untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat,”keluhnya.
Ketika di sendil detline waktu berapa lama status pengadilan akan di cabut, Kata Dedy, itu kembali lagi ke kebijakan pimpinan kami karena, memang dalam jangka waktu tertentu, dalam hal ini ada laporan bulanan, nah di setiap laporan bulanan tersebutkan, selalu ketua pengadilan di tanya proses dari pengadaan ini.
“Itu kembali ke kebijakan pimpinan, dalam hal ini, pimpinan kami di sini adalah di pengadilan tinggi, karena beliu setiap bulan melaporan dan beliua yang selalu di tanya soal itu”terangnya,
Selain tanah, Lanjutnya, yang kami utamakan di sini, bahwa Mahkama Agung mengedepankan Peradilan yang Agung dan Moderen. Selain kredibilitas dari putusan itu sendiri, itu mengedepankan modernisasi yang berbasis terhadap aiti.
“Jadi seluruh pekerjaan kami itu, termonitor lewat aplikasi ITE, namun seperti yang di ketahui bahwa, jaringan di Pulau Taliabu ini, banyak mengalami gangguan, sehingga laporan-laporan dan pelayanan kami pun, mengalami gangguan, baik pelaporan ke pusat maupun pelayanan kami ke daerah,”ujar Dedy.