Reporter : Dirman Umanailo
TERNATE, AM.com – Kondisi baku mutu air di wilayah Maluku Utara rupanya sudah dalam keadaan kritis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, dari 1.196 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa yang terdiri dari 1.066 desa, 117 Kelurahan dan 13 UPT/SPT serta 116 Kecamatan dan 10 Kabupaten Kota, sudah banyak yang tercemari.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, Misfarudin mengungkapkan, desa yang mengalami pencemaran air meningkat 370 persen dibanding tahun 2014 yaitu menjadi 216 Desa/Kelurahan di tahun 2018.
“Pencemaran air 2016 desa, salah satunya disebabkan oleh limbah pertambangan,” ucap Misfarudin saat menggelar konfrensi pers dengan awak media, Senin (10/12/2018).
Selain pencemaran air, pencemaran tanah dan udara juga mengalami peningkatan sebesar 107 persen dan 31 persen. Di mana untuk pencemaran tanah naik dari 15 Desa/Kelurahan di tahun 2014 menjadi 31 Desa/Kelurahan, sedangkan pencemaran udara naik dari 67 desa/kelurahan pada tahun 2014 menjadi 89 desa/Kelurahan.
Sementara sisanya sebanyak 927 desa/kelurahan tidak mengalami pencemaran. Ia juga menjelaskan, BPS Malut juga melakukan penghitungan Indeks Pembangunan Desa (IPD), yang menunjukan tingkat perkembangan desa dengan kategori tertinggal, berkembang dan mandiri.
“Semakin tinggi IPD menunjukan semakin mandiri desa tersebut, jumlah desa mandiri sebanyak 19 desa, 643 desa berkembang dan 404 desa tertinggal,” jelasnya.
Misfarudin juga menjelaskan, untuk potensi desa/Kelurahan di Provinsi Malut, pada bidang pariwisata diketahui terjadi peningkatan jumlah desa/kelurahan yang memiliki daya tarik wisata komersil, seperti wisata tirta, agrowisata, wisata budaya, tama rekreasi, wisata alam, dan lainya.
“Di Malut, terdapat 48 desa wisata pada tahun 2018,” bebernya.
Sedangkan pada bidang ekonomi kata dia, desa/kelurahan dengan keberadaan Industri Kecil dan Makro (IKM) mengalami peningkatan, yang terbesar terjadi pada industri makanan dan minuman yaitu sebesar 260 desa menjadi 335 desa/kelurahan.
“Selain itu, terjadi peningkatan pula pada desa/kelurahan dengan keberadaan industri dari kulit, industri dari kayu, industri logam mulia, industri gerabah dari kain tenun,” katanya lagi.
“Pada sasaran eknomi lainya terjadi peningkatan seperti keberadaan warung/toko kelonntong dan pasar. Desa dengan keberadaan warung/toko kelongtong meningkat sebesar empat persen dibanding tahun 2014, taitu menjadi 1.19 desa/kelurahan. Sementara Desa/Kelurahan dengan keberadaan pasar dengan bangunan, baik bangunan permanen maupun bangunan semi permanen, meningkat sebesar 15 persen dibandingkan tahun 2014 yaitu menjadi 130 desa/kelurahan,” jelasnya.
Pada tahun 2018 menurut dia, telah ada 507 desa/kelurahan yang memiliki produk unggulan yang terdiri dari dua macam, yaitu produk makanan dan produk non makanan.
“Ada sebanyak 245 desa/kelurahan yang hanya memiliki produk unggulan makanan, sementara ada 196 desa/Kelurahan yang hanya memiliki produk unggulan non makanan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan desa/kelurahan memiliki dua macam produk unggulan tersebut, seperti yang tejadi di 66 desa/Kelurahan,” cetusnya sembari menjelaskan tentang potensi di bidang perumahan di lingkungan hidup, bidang pendidikan dan pada bidang komunikasi dan informasi.