Oleh
Arman Buton
DI tengah carut marut hangatnya issue seputar politik lokal (Pilgub Malut), yang belum melahirkan siapa pemenangnya. Kini mucul lagi pemberitaan informasi seputar perusahaan tambang.
Dalam, Rubrik harian Malut Post, Edisi Jumat, 26 Oktober 2018, tertulis “Kepsul-Taliabu di minati 23 perusahaan tambang”. Pemberitaannya terkait Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Mulai dari 1 ,3 , 5 IUP per perusahaan sampai besarnya lahan yang akan digarap.
Setelah membaca berita terkait, Saya lalu berpikir, 1 perusahaan saja bisa berdampak, baik itu berdampak positif ataupun negatif, apalagi sebanyak 23 perusahan dan ke – 23 perusahaan tersebut beroperasi di 2 pulau yang luas wilayahnya sangat kecil.
Sebenarnya, munculnya industri-industri pertambangan mempunyai dampak positif dan juga dampak negatif bagi masyarakat dan daerah. Dampak positif adanya industri pertambangan antara lain menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, hasil produksi tambang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun luar negri, sehingga meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Tetapi di sisi lain, industri pertambangan juga mempunyai dampak negatif, yaitu kerusakan lingkungan. Wilayah yang menjadi area pertambangan akan terkikis, sehingga dapat menyebabkan erosi. Limbah hasil pengolahan tambang juga dapat mencemari lingkungan. Kegiatan industri tambang yang menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2 yang dapat menimbulkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
Pertambangan juga membutuhkan lahan yang luas sehingga bumi dapat digali oleh para penambang. Untuk alasan ini, pelebaran area perlu untuk dilakukan secara besar-besaran. Selain itu, vegetasi di daerah sekitarnya juga harus di babat habis untuk membangun jalan dan sarana perumahan perusahaan. Hutan yang di tebang untuk keperluan pertambangan adalah rumah bagi sejumlah besar organisme. Dengan defirestasi telah memusnahakan habitat sejumlah besar hewan.
Tentu pada prinsipnya, hadirnya perusahan pertambangan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan daerah, manfaatnya, bisa saja manfaat positif, atau bisa juga negatif.
Untuk itu, kalaupun kemudian operasi 23 perusahan tambang benar-benar berjalan di Taliabu maupun Sula, kiranya pemerintah dan perusahan harus dapat memikirkan masyarakat pribumi, terlebih soal hasil bumi, pangan dan laut masyarakat, karna 90 % pribumi bertumpu hidup disana. Jangan sampai kehadiran perusahan tambang jadi ancaman bagi mata pencaharian masyarakat lokal.
Dengan alasan-alasan tersebut diatas, kiranya penting bagi kita untuk sama-sama berdiskusi dan menyikapi informasi perusahaan pertambangan secara baik ditengah hangatnya tarik menarik wacana politik. Keterlibatan banyak pihak dalam diskusi perusahan tambang itu positif, terutama, masyarakat, pemerintah daerah, suasta, LSM, OKP, Media dan kawan-kawan mahasiswa. Karna, apapun alasannya tentu kita semua punya niat baik dan menginginkan yang terbaik bagi daerah kita.
Besar harapan saya, semoga nanti setelah beroprasinya 23 perusahaan tambang beserta amukan eksavator, loeder, dan bouldoser perusahaan atas hutan dipulau kecil; Sanana-Taliabu, bisa memberikan banyak manfaat kepada masyarakat dan daerah, dibandingkan kerusakannya. Semoga,
Ternate, 27 Oktober 2018.