Reporter : Maulud Rasai
MOROTAI, AM.com–Meski sudah ditetapkan Hiron Rahankey sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2018. Tidak lantas, membuat publik diam saja.
Buktinya, dekan Fakultas Ilmu Sosil dan Ilmu Pemerintahan Universitas Pasifik (FISIP UNIPAS) Morotai, Parto Sumtaki tetap meminta penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara untuk mengungkap aktor dibalik pemalsuan tanda tangan anggota DPRD pulau Morotai, sehingga menjadi terang kasusnya.
Menurut Alumni FISIP UMMU Ternate itu, bahws peningkatan status penyelidikan ke penyidikan sudah pasti kasusnya sudah terang dan menemukan siapa tersangkanya. Sehingga, langkah penyidik yang menemukan alat bukti yang cukup kasus pemalsuan dokumen APBD, sehingga itu proses penyidikan juga harus menemukan aktor utama kasus tersebut.
“Polda wajib memproses kasus ini lebih lanjut, karena pasti ada orang lain yang juga ikut terlibat, karena bicara APBD pasti melibatkan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan DPRD, itu artinya orang yang terlibat dalam kasus ini lebih dari satu,”ungkap Parto Sumtaki kepada reporter aspirasimalut.com, Senin (24/09/2018).
Tidak mungkin seorang staf bawahan yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), Kata Parto, Bisa melakukan hal konyol dengan meniru tandatangan sejumlah anggota DPRD dalam dokumen APBD tanpa di printah orang lain. “Maksud saya Polda harus ungkap siapa otak dibalik kasus ini,”sindirnya.
Dengan demikian, Lanjut dia, penetapan tersangka tersebut tentu secara faktual tidaklah selesai sampai disitu, untuk itu dibutuhkan upaya penyidik secara sungguh-sungguh dalam memastikan aktor intelektual yang diduga melibatkan pihak-pihak yang secara sengaja memerintahkan untuk memalsukan tandatangan milik sejumlah anggota DPRD Morotai.
“Dalam konteks inilah saya melihat ujian beratnya ada disitu (pengembangan) Penyidik harus profesional dan tidak boleh masuk angin dalam rangka untuk menjaga marwah dan kredibilitas lembaga kepolisian sebagai pelayan dan pengayom masyarakat,”cetusnya.
Tidak hanya itu, akademisi Unipas Morotai ini juga menjelaskan terkait proses perjalanan pengesahan APBD induk 2018, dimana dalam proses pengesahan itu sudah terdapat kejangkalan, dimana didalam APBD versi Pemerintah Daerah (Pemda) dokumen APBD disahkan tertanggal 13 November 2017. Sementara APBD disahkan lembaga DPRD tertanggal 24 Desember 2017. Anehnya dokumen APBD tertanggal 24 Desember juga tidak ditandatangani unsur pimpinan DPRD, itu berarti sebelum APBD disahkan. Pemda diduga duluan membawa dokumen APBD ke Gubernur untuk ditandatangani kemudian digunakan sebelum dokumen APBD diparipurnakan.
Dengan adanya penetapan tersangka, Tambah dia, sudah jelas dokumen APBD yang digunakan Pemda selama ini diduga tidak sah, dengan dasar ini Polda harus terus memproses kasus ini lebih lanjut, karena jika Polda hanya menetapkan satu tersangka. Maka sudah barang tentu publik pasti meragukan kinerja Polda Malut.
“Hanya tetapkan satu tersangka, kemudian Polda hentikan kasusnya, sudah pasti publik pasti curiga, mungkin Polda sudah masuk angin, sehingga hanya tetapkan satu tersangka,”sindirnya.
Karena dalam kasus APBD Induk 2018 bicara menyangkut hak hidup seluruh warga Morotai, untuk itu tidak ada alasan Polda harus usut tuntas oknum siapa saja yang terlibat dalam kasus yang mungkin pertama kali terjadi di Indonesia ini.”Seluruh warga Morotai menaruh harapan besar terhadap Polda Malut agar dapat membongkar misteri kasus yang menghebohkan publik ini,”tutupnya.