Tambang Nikel dan Mimpi Buruk Nelayan di Teluk Buli

Ardian Sangaji

MABA, AM.comKabupaten Halmahera Timur (Haltim) kaya akan potensi tambang nikel. Tak heran, kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2003 silam ini, menjadi incaran sejumlah perusahaan tambang. Hingga kini terhitung kurang lebih 3 perusahaan beroperasi, diantaranya PT. Antam, PT. Adhita, PT. Haltim Mining.

Alhasil, keberadaan perusahaan yang mengeksploitasi potensi nikel di negeri berjuluk Limabot Fayfiye ini, nampaknya menjadi ‘mimpi buruk’ bagi sejumlah nelayan di Teluk Buli, baik nelayan tangkap maupun nelayan bagang. Buktinya, sejumlah nelayan yang ditemui wartawan mengaku hasil tangkapannya menurun drastis saat masuknya tiga perusahaan tambang tersebut.

Seperti halnya yang dialami Martin (33) nelayan Desa Soagimalaha, Kecamatan Kota Maba yang sehari-hari menangkap ikan dengan perahu motor kecil di perairan sekitar Pulau Para Para.

Warga asal Buton ini terpaksa menangkap ikan di sekitar Pulau Para Para karena lokasinya jauh dari aktivitas perusahaan. Meski begitu, hasil tangkapan ikan ikut menurun mulai 4 tahun terakhir. “Sekarang ikan sudah mulai kurang, satu hari hanya 5 kilo saja, biasanya dulu itu sehari sampai 20 kilo,” ungkap Martin saat ditemui di tempat tambat perahu, sungai Soagimalaha, Minggu (12/11).

Pria yang sudah 7 tahun menghidupkan keluarganya dari hasil laut ini menuturkan, semenjak hasil tangkapan berkurang, penghasilannya sebagai nelayan pun ikut menurun.

Terlebih lagi, harga ikan yang dijual tak bisa lagi dinaikkan karena adanya  kebijakan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Haltim yang mematok standar jual ikan hanya boleh Rp 30 ribu per kilogram. Padahal untuk sekali melaut Martin harus membeli bahan bakar solar sebanyak 95 liter. “Sudah setengah mati kasih naik harga ikan ini, sudah tidak bisa lagi kasih naik, nanti sedikit-sedikit Disperindag marah,”ungkapnya seraya mengaku tidak tahu alasan larangan tersebut.

Nasib yang sama juga dialami Hamid Soleman (42) nelayan bagang asal Soagimalaha. “Kalau dulu bagus setelah perusahaan masuk mungkin tidak tahu lagi limbah kah, bagaimana kah, ikan jadi berkurang sekali,” ungkap Hamid saat di tempat tinggalnya di Penginapan Gorma, Minggu (12/11/2017).

Menurut Hamid, sebelum Haltim dimekarkan menjadi kabupaten dalam sebulan hasil bagang berupa ikan campuran teri dan kembung  bisa mencapai 1 – 2 ton ikan, namun kini menurun 300 – 400 kilogram per bulan. “Sekarang setengah mati sekali, paling kuat 300 – 400 kilogram. Tapi kalau dulu ikan satu kilogram hanya Rp 5.000, sekarang sudah Rp 20.000 per kilogram,” katanya.

Selain itu kata Hamid, di perairan Teluk Buli awalnya ramai dengan bagang. Tak kurang dari 30 unit bagang yang beroperasi di masa itu, termasuk miliknya sebanyak 12 unit. Tetapi ketika masuknya perusahaan tambang jumlah tersebut ikut berkurang lantaran merugi. Saat ini hanya tersisa 2 unit bagang yang beroperasi, 1 diantaranya adalah milik Hamid.

Sementara itu amatan wartawan, beberapa titik wilayah pegunungan di Maba sudah gundul karena eksploitasi tambang nikel. Diduga akibat gundulnya hutan, ketika hujan material tanah dari tambang nikel ini terbawa banjir hingga ke laut membuat perairan di sepanjang pantai Teluk Buli berwarna cokelat. (azk)

spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img
spot_imgspot_img

ASPIRASI NEWS

ADVERTORIAL

ASPIRASI SOFIFI

ASPIRASI TERNATE

ADVERTORIAL