Rita Pranawati MA. Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Dosen FISIP Uhamka Jakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat
MENGAPA anak-anak sekarang semakin garang, ganas, dan cenderung brutal? Pertanyaan itu menggelayut pikiran. Berbagai peristiwa yang menggambarkan potret pendidikan anak Indonesia yang jauh dari nalar kemanusiaan terus tersaji di ruang media massa. Sebut saja kasus klithih di Yogyakarta, kematian siswa sekolah kedinasan yang bergengsi di Magelang Jawa Tengah, hingga pesta kelulusan siswa SMA/SMK di Klaten.
Kasus klithih di Yogyakarta misalnya, tidak sebuah peristiwa biasa. Setidaknya telah ada dua korban meninggal akibat aksi ini. Pesta kelulusan SMA/SMK di Klaten yang berujung dengan beberapa orang terluka menunjukkan ketidakmatangan berekspresi.
Masa remaja memang masa berekspresi, namun ada jalan yang lebih baik dan humanis dalam merayakan kelulusan. Sangat disesalkan ketika ekspresi yang dilakukan justru mengandung unsur kekerasan.
Jalan Kemanusiaan
Peristiwa ‘kebrutalan’ anak, perlu mendapat perhatian serius, terutama dari orangtua. Orangtua perlu kembali menengok kewajiban dasar mendidik anak-anaknya. Mendidik adalah tugas dan tanggungjawab orangtua. Ini adalah amanat dari Tuhan. Proses mendidik ala orangtua perlu didasari oleh prinsip kasihsayang tanpa batas.
Orangtua hanya boleh mendidik dengan jalan kemanusiaan, bukan dengan kekerasan, baik fisik maupun mental. Jalan kemanusiaan pendidikan ditempuh melalui pendekatan holistik. Artinya, orangtua perlu memahami betul watak, karakter, bakat, dan minat anak.
Teknologi baru memungkinkan orangtua mendeteksi sejak dini bakat anak. Bakat anak itulah yang kemudian didorong dan dikembangkan. Saat bakat dan minat anak mampu dioptimalkan dengan baik, maka mereka akan tumbuh menjadi insan yang mulia. Mereka akan menjadi generasi hebat pada masanya. Mereka pun akan menjadi penyokong kemajuan bangsa dan negara.
Model penegakan disiplin dengan penuh kekerasan tampaknya kurang sesuai dengan era baru. Model itu perlu diubah dengan pembiasaan sejak dini. Pembiasaan itu dimulai dari mentalitas orangtua yang sehat dan kuat. Bagaimana mungkin mau mendisiplinkan generasi baru, jika generasi lama belum bisa menjadi contoh yang baik.
Penegakan disiplin pun perlu didukung oleh suasana baru. Artinya, perlu ada penghargaan (reward) dan menunda penghargaan (delay reward). Penghargaan diberikan kepada anak yang mampu berdisiplin dengan baik. Sedangkan penundaan memberikan penghargaan diberikan kepada mereka yang belum menaati peraturan.
Ini merupakan konsekuensi lebih tepat untuk menggantikan posisi hukuman. Konsekuensi bertujuan membangun kesadaran anak akan apa yang dilakukan. Sekaligus mengesankan, dan anak akan belajar dari kesalahan dengan cara terhormat.
Sosial
Tidak kalah penting, format pendidikan keluarga perlu diubah menuju pemaknaan kecerdasan emosional dan spiritual. Orangtua saat ini lebih banyak menanyakan urusan akademik daripada bertanya kepada anak hari ini bermain bersama siapa, apa saja yang dilakukan di sekolah dan pulang sekolah, bagaimana guru-guru mereka, dan pengalaman-pengalaman sosial lainnya.
Riset Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan orangtua lebih banyak menanyakan urusan akademik. Domain itu mencapai 60% dibandingkan urusan sosial. Angka ini cukup tinggi dan menjadi lampu kuning bagi orangtua. Saat orangtua hanya bertanya urusan akademik, maka anak akan bosan dan sulit diatur.
Karena itu penekanan aspek sosial perlu menjadi agenda di tengah semakin ‘individualnya’ kehidupan masyarakat. Saat anak sering ditanya aspek sosial, ia akan mudah bergaul, berempati, dan menghormati orang lain. Kecerdasan emosi sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual.
Menumbuhkan dan mendorong kecerdasan emosi pun akan mampu mendewasakan anak. Remaja perlu banyak belajar banyak hal dalam mengatasi masalah. Mengatasi masalah tidak akan pernah selesai dengan satu kecerdasan. Perlu formula dan format kecerdasan lain, sehingga mereka mampu mengambil keputusan secara jernih dan manusiawi.
Potret anak dan remaja hari ini seakan mengingatkan kita betapa masa depan bangsa sedang diuji. Perilaku kekerasan yang dilakukan anak menjadi alarm bagi bangsa untuk kembali menengok proses pendidikan yang selama ini dilakukan.
Anak adalah cerminan orang tuanya. Saat orangtua baik, generasi mendatang akan menuju pada kebajikan. Jika orangtua kurang mampu melakukan transformasi kehidupan, maka generasi mendatang akan lemah dan tak berdaya.